Suasana seperti itu adalah keseharian yang dialami warga Jakarta saat pagi hari dan sore hari, saat orang – orang berangkat dan pulang kerja. Bagi mereka yang naik motor mungkin tidak mengalami stress yang berlebihan karena motor lebih leluasa memanfaatkan setiap celah sempit di antara mobil-mobil. Tetapi bagi mereka yang naik angkutan umum atau mobil pribadi, maka akan mengalami stress yang amat sangat saat jalanan macet total. Ditambah lagi jika banyak tugas kerja yang belum selesai dan sedang ada janji dengan seseorang. Sulit sekali menikmati perjalanan di Jakarta saat seperti itu, jika kita tidak tahu kuncinya.
Memang bukan hal yang mudah untuk menikmati perjalanan di Jakarta saat macet, tetapi sebagai umat Buddha kita sudah diajari oleh Buddha untuk menyikapi apapun secara bijak. Ajaran tentang cattari arya saccani mengajarkan kita untuk berpikir logis, runtut dan sistematis. Dalam menghadapi masalah yang kompleks sekalipun kita harus selalu bersikap tenang, tidak emosional. Misalnya, saat kena macet total. Meski jenuh di jalan tetapi paling tidak kita harus berusaha membuat diri kita nyaman dan pikiran selalu terkendali. Kita seharusnya berpikir logis bahwa macet terjadi karena ada penyebabnya, dan macet juga akan berakhir saat penyebabnya lenyap. Oleh karena itu, pasti ada jalan untuk mengakhiri kemacetan.
Saat macet, memang banyak juga orang yang mengungkapkan kekesalannya dengan mengomel, mencaci kendaraan yang ada di sekitarnya. Sebagian pengendara motor sering menyalahkan angkutan umum yang sering ngetem sembarangan sebagaii biang kerok kemacetan. Sebaliknya, sopir angkutan juga tidak mau mengalah dan menyalahkan banyaknya motor dan mobil pribadi yang ada saat ini sebagai akar masalah kemacetan. Wah…jadi lingkaran setan! Tetapi apakah dengan seperti itu, masalah selesai? Yang terjadi justru masalah makin melebar. Hati juga semakin tidak tenang. Energi yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan, sebagian besar justru hilang di jalan. Ditambah lagi jika kita terus mengomel dan mencaci maka kita terus menumpuk karma buruk yang akibatnya mau tidak mau juga kembali ke diri kita.
Lalu bagaimana agar kita bisa menikmati perjalanan yang menjemukan seperti itu? Sebagai seorang umat yang beragama tentu kita harus bersabar. Jika kita tidak bisa merubah keadaan menjadi lebih baik, paling tidak kita tidak menambah masalah menjadi semakin rumit. Seperti yang pernah dikutip dalam salah satu kitab suci agama Buddha Dhammapada, Vagga ayat 184, Buddha menjelaskan bahwa kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik (bahasa palinya "kanti paramam tapo titikkha"). Sabar adalah solusi paling tepat. Saat mecet total, jangan memaksakan diri berlebihan untuk terus menjalankan mobil kita jika memang tak memungkinkan.
Jika karena kondisi, kita sulit menambah perbuatan baik, paling tidak kita tidak melakukan kejahatan, seperti yang dipesankan Buddha dalam Dhammapada bagian Buddha Vagga ayat 183 yaitu jangan berbuat jahat (sabbapapasa akaranam). Saat kita tidak bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk merubah keadaan, lebih baik kita bersikap diam. Menenangkan pikiran diri kita sendiri adalah jauh lebih baik dari pada mengomel, apalagi mencaci orang lain. Semua hal kan mengalami hukum perubahan (anicca). Dengan menyadari hal semacam ini maka kita lebih bisa menikmati perjalanan, meskipun banyak hal yang bisa membuat kita kurang nyaman. Tentu dengan berpikir apa adanya dilandasi pengertian yang benar (samma ditthi) maka kita bisa bersikap bijak, hingga akhirnya kita tidak melakukan banyak hal yang merugikan diri kita dan orang lain. Akhirnya kita bisa menikmati perjalanan dengan lebih menyenangkan dan bahagia.
No comments:
Post a Comment